Rakyat Mulai Matang Berdemokrasi
Indonesia sudah mengalami berbagai pemilihan umum sejak pemilihan umum pertama kali tahun 1955 sampai sekarang dan ini merupakan proses demokrasi yang panjang bagi rakyat Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa pemilu tahun 1955 itu adalah pemilu yang sangat demokratis dan terus berlanjut pada pemilu-pemilu berikutnya mulai tahun 1971 setelah jaman Orde Baru (Orba) dibentuk.
Publik masih ingat pada pemilihan umum pada jaman Orba, masyarakat menyaksikan betapa menegangkan sebuah pemilihan itu. Ratusan truk, bis, ribuan sepeda motor yang penuh dengan pendukung partai berteriak-teriak seperti supporter sepakbola, sering terjadi gesekan- saling mengejek, perkelahian antar pendukung partai politik, di daerah pantai utara Jawa Tengah misalnya sering terjadi perkelahian para pendukung dua Parpol. Sering juga terjadi kecelakaan yang semuanya itu mengambil nyawa para pendukung parpol. Rakyat pada umumnya menghindar kalau ada konvoi partai politik, menghindari tempat dimana ada kampanye politik, betul-betul menakutkan.
Namun kini, secara gradual kemudian rakyat mulai matang berdemokrasi, cara-cara konvoy yang menyebabkan gesekan itu sudah dihilangkan. Sekarang rakyat terbiasa dengan model debat kandidat seperti yang ada di negara-negara maju. Pertemuan dengan para kandidat, rakyat menyaksikan kandidat berada di pasar, rumah sakit, panti asuhan dsb. untuk mencari dukungan suara. Rakyat juga bisa melihat kualitas para calon ketika berdebat, ada yang penuh dengan ide-ide normatif tapi sulit di laksanakan seperti “kalau saya menang, maka pendidikan gratis”, ada yang penuh dengan keyakinan misi visi nya berhasil dengan menunjukkan angka-angka statistik; dan rakyat pun bisa melihat ada juga kandidat yang hanya MEOK – Makan Enak Omong Kosong saja.
Saking seringnya rakyat Indonesia menghadapi pemilihan, di khawatirkan ada “Election Fatigue” atau “Kecapean Pemilihan” lalu muncul apatisme dimana-mana, salah satunya muncul ide “Golput” atau Golongan Putih yang menggambarkan pemilih tidak memilih siapa-siapa dengan tidak hadir di Tempat Pemungutan Suara atau TPS, atau masuk bilik TPS tapi merusak kertas suara dsb dsb.
Namun demikian, karena panjangnya pengalaman rakyat Indonesia berdemokrasi ini maka dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Rakyat sudah tidak tegang lagi menghadapi berbagai pemilihan dari Pilkades, Pilbub, Pilkot, Pilgub, Pilpres, malahan menyambutnya dengan riang gembira. Para pengamat pemilihan dari luar negeri terheran-heran dengan banyaknya warna-warni di TPS, dimana para petugas TPS berpakain macam-macam, ada yang seragam batik, ada yang mengenakan pakaian adat, ada yang memakai kostum wayang orang dsb dsb. Tidak ada lagi ketegangan lagi di TPS dimana masing-masing pendukung calon atau Parpol saling curiga mencurigai. Karena itulah ada pengamat luar negeri yang meyebutnya sebagai “Festivities of Democracy” atau Pesta Demokrasi terbesar di dunia.
Untuk melihat besarnya pemilihan itu, coba kita simak Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2018 ini saja. Pilkada yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Juni 2018 itu akan memilih 17 Gubernur, 39 Walikota dan 115 Bupati di 171 daerah diseluruh Indonesia; jumlah calonnya lebih dari 500 orang.
Pilkada serentak 2018 adalah kelanjutan dari Pilkada serentak pertama sejak tahun 2015, kemudian 2017 itu menelan biaya- menurut perkiraan Komisi Pemilihan Umum (KPU) nasional – sekitar Rp 10,6 trilliun atau US$ 735 juta. Itu masalah biaya, bagaimana tentang jumlah TPS nya? Sebagai gambaran di Jatim saja menurut Eko Sasmito, Ketua KPU Jatim, pihaknya menyiapkan sekitar 68 ribu TPS di 38 Kabupaten/Kota di Jatim. Sementara itu secara nasional menurut Ketua KPU nasional Arief Budiman, pihaknya tengah menghitung penambahan jumlah TPS apabila jumlah pemiih 300 orang/TPS. Pada penghitungan lalu dengan jumlah pemilih 350 orang, KPU menghitung setidaknya jumlah TPS lebih dari 800.000. Wow..! nampak nya hampir tidak ada negara di dunia yang menyelenggarakan pilihan yang masiv ini.
Namun meskipun kita berada di ranking ke tiga sebagai negara demokrasi terbesar di dunia setelah AS dan India, kematangan proses pemilihan itu tentu menghadapi tantangan-tantangan. Di negeri sebesar Amerika Serikat saja demokrasi nya masih menghadapi berbagai tatangan. Di Indonesia tantangan untuk matang berdemokrasi itu adalah antara lain soal kematangan pemilih menghadapi isu-isu sektarian, isu kesukuan, putra daerah vs pendatang dan politik uang atau money politic. Untuk yang terakhir dewasa ini muncul perdebatan tentang perlunya calon membayar uang pada Parpol untuk mendapatkan surat rekomendasi bahwa si calon bisa maju di Pilkada atas dukungan Parpol yang bersangkutan.
Kalau kita ingin lebih matang berdemokrasi, maka praktek-praktek seperti itu kalau ada - perlu di hilangkan dikemudian hari, sebab kalau tidak maka berbagai pemilihan di negeri kita ini bersifat transaksional dan hal ini akan menimbulkan praktek korupsi.
Yang perlu di iingat bahwa dalam Pilkada ini, para pendukung para calon atau Parpol harus matang untuk menerima berbagai perbedaan, atau prinsip “Agree to Disagree”; dan yang lebih penting lagi berbagai perbedaan itu tidak boleh memecah belah persatuan di NKRI.
Publik masih ingat pada pemilihan umum pada jaman Orba, masyarakat menyaksikan betapa menegangkan sebuah pemilihan itu. Ratusan truk, bis, ribuan sepeda motor yang penuh dengan pendukung partai berteriak-teriak seperti supporter sepakbola, sering terjadi gesekan- saling mengejek, perkelahian antar pendukung partai politik, di daerah pantai utara Jawa Tengah misalnya sering terjadi perkelahian para pendukung dua Parpol. Sering juga terjadi kecelakaan yang semuanya itu mengambil nyawa para pendukung parpol. Rakyat pada umumnya menghindar kalau ada konvoi partai politik, menghindari tempat dimana ada kampanye politik, betul-betul menakutkan.
Namun kini, secara gradual kemudian rakyat mulai matang berdemokrasi, cara-cara konvoy yang menyebabkan gesekan itu sudah dihilangkan. Sekarang rakyat terbiasa dengan model debat kandidat seperti yang ada di negara-negara maju. Pertemuan dengan para kandidat, rakyat menyaksikan kandidat berada di pasar, rumah sakit, panti asuhan dsb. untuk mencari dukungan suara. Rakyat juga bisa melihat kualitas para calon ketika berdebat, ada yang penuh dengan ide-ide normatif tapi sulit di laksanakan seperti “kalau saya menang, maka pendidikan gratis”, ada yang penuh dengan keyakinan misi visi nya berhasil dengan menunjukkan angka-angka statistik; dan rakyat pun bisa melihat ada juga kandidat yang hanya MEOK – Makan Enak Omong Kosong saja.
Saking seringnya rakyat Indonesia menghadapi pemilihan, di khawatirkan ada “Election Fatigue” atau “Kecapean Pemilihan” lalu muncul apatisme dimana-mana, salah satunya muncul ide “Golput” atau Golongan Putih yang menggambarkan pemilih tidak memilih siapa-siapa dengan tidak hadir di Tempat Pemungutan Suara atau TPS, atau masuk bilik TPS tapi merusak kertas suara dsb dsb.
Namun demikian, karena panjangnya pengalaman rakyat Indonesia berdemokrasi ini maka dunia mengakui bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India. Rakyat sudah tidak tegang lagi menghadapi berbagai pemilihan dari Pilkades, Pilbub, Pilkot, Pilgub, Pilpres, malahan menyambutnya dengan riang gembira. Para pengamat pemilihan dari luar negeri terheran-heran dengan banyaknya warna-warni di TPS, dimana para petugas TPS berpakain macam-macam, ada yang seragam batik, ada yang mengenakan pakaian adat, ada yang memakai kostum wayang orang dsb dsb. Tidak ada lagi ketegangan lagi di TPS dimana masing-masing pendukung calon atau Parpol saling curiga mencurigai. Karena itulah ada pengamat luar negeri yang meyebutnya sebagai “Festivities of Democracy” atau Pesta Demokrasi terbesar di dunia.
Untuk melihat besarnya pemilihan itu, coba kita simak Pemilihan Kepala Daerah Serentak tahun 2018 ini saja. Pilkada yang akan diselenggarakan pada tanggal 27 Juni 2018 itu akan memilih 17 Gubernur, 39 Walikota dan 115 Bupati di 171 daerah diseluruh Indonesia; jumlah calonnya lebih dari 500 orang.
Pilkada serentak 2018 adalah kelanjutan dari Pilkada serentak pertama sejak tahun 2015, kemudian 2017 itu menelan biaya- menurut perkiraan Komisi Pemilihan Umum (KPU) nasional – sekitar Rp 10,6 trilliun atau US$ 735 juta. Itu masalah biaya, bagaimana tentang jumlah TPS nya? Sebagai gambaran di Jatim saja menurut Eko Sasmito, Ketua KPU Jatim, pihaknya menyiapkan sekitar 68 ribu TPS di 38 Kabupaten/Kota di Jatim. Sementara itu secara nasional menurut Ketua KPU nasional Arief Budiman, pihaknya tengah menghitung penambahan jumlah TPS apabila jumlah pemiih 300 orang/TPS. Pada penghitungan lalu dengan jumlah pemilih 350 orang, KPU menghitung setidaknya jumlah TPS lebih dari 800.000. Wow..! nampak nya hampir tidak ada negara di dunia yang menyelenggarakan pilihan yang masiv ini.
Tantangan Pilkada
Namun meskipun kita berada di ranking ke tiga sebagai negara demokrasi terbesar di dunia setelah AS dan India, kematangan proses pemilihan itu tentu menghadapi tantangan-tantangan. Di negeri sebesar Amerika Serikat saja demokrasi nya masih menghadapi berbagai tatangan. Di Indonesia tantangan untuk matang berdemokrasi itu adalah antara lain soal kematangan pemilih menghadapi isu-isu sektarian, isu kesukuan, putra daerah vs pendatang dan politik uang atau money politic. Untuk yang terakhir dewasa ini muncul perdebatan tentang perlunya calon membayar uang pada Parpol untuk mendapatkan surat rekomendasi bahwa si calon bisa maju di Pilkada atas dukungan Parpol yang bersangkutan.
Kalau kita ingin lebih matang berdemokrasi, maka praktek-praktek seperti itu kalau ada - perlu di hilangkan dikemudian hari, sebab kalau tidak maka berbagai pemilihan di negeri kita ini bersifat transaksional dan hal ini akan menimbulkan praktek korupsi.
Yang perlu di iingat bahwa dalam Pilkada ini, para pendukung para calon atau Parpol harus matang untuk menerima berbagai perbedaan, atau prinsip “Agree to Disagree”; dan yang lebih penting lagi berbagai perbedaan itu tidak boleh memecah belah persatuan di NKRI.
Selamat berpesta Demokrasi.