Membangun Kekuatan Demokrasi Rakyat
oleh: Bondan Arion Prakoso* - detikNews
Reformasi’98 adalah salah satu titik balik dalam sejarah Indonesia, yang merupakan sebuah momentum yang di cita-citakan untuk mengantarkan bangsa Indonesia ke alam kehidupan yang demokratis dan bermartabat. “Demokrasi Indonesia ibarat wajah bopeng yang dipoles bedak dan gincu tebal, tidak lebih dari sekedar gegap gempita yang minim substansi serta prosedur yang nihil esensi” dan seringkali terbentur pada kartel-kartel kekuasaan yang oligarkis serta penegakan aturan yang transaksional.
Masyarakat kini seolah berada pada titik jenuhnya yang membuat mereka frustasi akan cita-cita karena terdapat indikator yang menunjukan lemahnya proses maupun output dari proses demokrasi yang sedang dijalani, yakni terlihat pada tingginya angka golput, maraknya kecurangan pemilu, serta rendahnya kualitas caleg yang ditawarkan. Proses yang buruk akan menyebabkan keluaran yang buruk pula, sepertinya kemunculan politik dinasti raja-raja yang korup di daerah maupun di tingkat nasional yang ironisnya dilahirkan oleh proses demokrasi.
“Demokrasi bukanlah obat ajaib yang akan menyelesaikan segala persoalan”. Demokrasi merupakan sebagai satu panggung tempat aktor-aktor beradu kemampuan dan memberikan yang terbaik untuk penontonnya, atau sebagai pasar yang efisien di mana segala aspirasi dan kepentingan bertemu lalu menemukan konsensusnya tanpa ada pihak yang kalah dan tertipu.
Menggagas sebuah forum dimana aspirasi dan idealisme politik dibangun sedini mungkin dengan memiliki dua spektrum di mana anak-anak muda menjadi objek dan subjek, agar menjadi generasi yang siap menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama, cita-cita kemerdekaan. Terkait program partai, tidak ada satu pun program politik alternatif yang pro rakyat yang diprogramkan oleh partai-partai berikut calon-calon yang tampil sebagai peserta Pemilu 2014 (kadernya bodoh program, namun pinter janji bual). Kalaupun beberapa calon ada menjanjikan program ini dan itu, program ini tidak lebih dari sekedar jualan karena tidak benar-benar mampu dijelaskan cara mencapainya.
Ditambah pula dengan tidak berkapasitasnya partai-partai dan calon-calon tersebut dalam rekam jejak kepemimpinan untuk menjalankan program apapun yang mereka tawarkan. Tidak ada satu pun metode politik alternatif kerakyatan yang dijalankan oleh para peserta Pemilu 2014 yang menempatkan rakyat sebagai penguasa dari calon-calon wakil dan pemimpinnya ke depan. Ini dibuktikan dengan tidak adanya satu pun calon yang memberikan hak kepada rakyat untuk mengevaluasi sampai mencopot mereka.
Dua hal di atas bersumber dari tidak adanya satu pun partai alternatif kerakyatan yang tampil sebagai peserta Pemilu 2014 karena dihambat oleh sistem dan aturan yang tidak demokratis. Demokrasi di Indonesia menunjukan bahwa pekerja saat ini tertarik dengan isu hak sosial-ekonomi dan welfare-state dibandingkan dengan tuntutan klasik semata seperti upah. Perlu dibangun koalisi dari luar elite politik yang mewakili tuntutan untuk adanya keterwakilan kepentingan mereka yang diharapkan mampu menghasilkan peta yang akan menjadi panduan untuk keluar dari stagnansi menuju transformasi demokrasi.
Ada potensi baru akan kelahiran front (Kesatuan) yang terdiri dari kelompok isu kepentingan dan gerakan yang selama ini telah terpinggirkan dalam proses demokrasi dengan populisme dari berbagai stakeholder dengan bernegosiasi pada kelompok miskin. “Be a strong wall in the hard times and be a smiling sun in the good times. (Jadilah dinding yang kuat ketika masa-masa sulit. Jadilah matahari yang tersenyum, ketika masa-masa indah). Sehingga Pemilu 2014 dapat dikatakan sebagai Pemilunya borjuis karena hanya diikuti oleh partai-partai bandit yang meletakan keberpihakannya bukan pada rakyat, melainkan pada modal (mudah-mudahan saja tidak).
Bukan berarti rakyat sudah tidak membutuhkan demokrasi dan Pemilu sebagai ajang demokrasi, justru karena demokrasi yang ada saat ini diyakini tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa, justru hanya akan membersihkan borok-borok partai politik (bukan pesimis yaa). Oleh karenanya, dibutuhkan suatu gerakan alternatif yang mendorong pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik yang menempatkan rakyat sebagai penguasa dari nasib bangsa dan rakyat ke depan.
Partisipasi ini tidak dapat dibatasi hanya dengan memilih calon-calon yang ada, melainkan membangun satu kesatuan politik alternatif untuk mengusung program-program alternatif kerakyatan bagi perubahan bangsa dan rakyat ke depan, yakni nasionalisasi aset-aset strategis demi pengadaan sumber-sumber keuangan negara dan kesejahteraan rakyat. Saat ini sebagian besar di beberapa sektor aset-aset negara dimiliki oleh swasta dan asing seperti kehutanan, kelautan, perkebunan, tambang mineral dan energi, telekomunikasi, perbankan, transportasi, pendidikan dan kesehatan.
Pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya, yakni pencabutan seluruh UU anti-demokrasi, termasuk merubah sistem kepartaian dan pemilu menjadi partai dan Pemilu yang demokratis, serta pembentukan badan-badan musyawarah rakyat yang berfungsi mengawasi dan mengontrol penjalanan program-program tersebut oleh pemerintahan terpilih. Oleh karena itu, kebutuhan gerakan rakyat adalah membangun kekuatan politik rakyat sebagai alat perjuangan politik bersama.
Sementara itu, tidaklah tepat pembangunan gerakan politik rakyat dengan menyandarkan taktik mendompleng kepada kekuatan partai politik borjuasi ataupun mendukung calon presiden yang populer pada Pemilu borjuasi 2014 (taktik yang keliru sekalipun hanya sebagai proses pembelajaran politik). Ada semangat dan antusias yang cukup tinggi untuk terlibat membangun bangsa.
Kendalanya adalah benturan dan perbedaan-perbedaan ini masih cukup tinggi dan rentan. Di beberapa daerah ada letupan-letupan, walaupun tidak sampai membesar ini harus kita sikapi dengan penuh bijaksana dan introspeksi diri. Ada sebagian berpandangan, kualitas demokrasi yang salah satunya diukur dengan kualitas pemilunya, maka kualitas pemilu akan menghasilkan kualitas kehidupan demokrasi negara yang berkualitas.
Kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya akan nada harapan untuk lebih berkualitas. Karena itu, dalam titik ini, pemilu dalam konteks pembangunan sistem politik negara yang demokratis memiliki peran dan fungsi yang penting. “Keragaman dapat menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan politik dan dialog dapat meningkatkan harapan bagi kebebasan, kemakmuran, dan hak-hak, singkatnya standard kehidupan demokratis”.
*) Bondan Arion Prakoso adalah Pengamat dan Pemerhati Masalah Bangsa
detik
Reformasi’98 adalah salah satu titik balik dalam sejarah Indonesia, yang merupakan sebuah momentum yang di cita-citakan untuk mengantarkan bangsa Indonesia ke alam kehidupan yang demokratis dan bermartabat. “Demokrasi Indonesia ibarat wajah bopeng yang dipoles bedak dan gincu tebal, tidak lebih dari sekedar gegap gempita yang minim substansi serta prosedur yang nihil esensi” dan seringkali terbentur pada kartel-kartel kekuasaan yang oligarkis serta penegakan aturan yang transaksional.
Masyarakat kini seolah berada pada titik jenuhnya yang membuat mereka frustasi akan cita-cita karena terdapat indikator yang menunjukan lemahnya proses maupun output dari proses demokrasi yang sedang dijalani, yakni terlihat pada tingginya angka golput, maraknya kecurangan pemilu, serta rendahnya kualitas caleg yang ditawarkan. Proses yang buruk akan menyebabkan keluaran yang buruk pula, sepertinya kemunculan politik dinasti raja-raja yang korup di daerah maupun di tingkat nasional yang ironisnya dilahirkan oleh proses demokrasi.
“Demokrasi bukanlah obat ajaib yang akan menyelesaikan segala persoalan”. Demokrasi merupakan sebagai satu panggung tempat aktor-aktor beradu kemampuan dan memberikan yang terbaik untuk penontonnya, atau sebagai pasar yang efisien di mana segala aspirasi dan kepentingan bertemu lalu menemukan konsensusnya tanpa ada pihak yang kalah dan tertipu.
Menggagas sebuah forum dimana aspirasi dan idealisme politik dibangun sedini mungkin dengan memiliki dua spektrum di mana anak-anak muda menjadi objek dan subjek, agar menjadi generasi yang siap menjadikan demokrasi sebagai alat untuk mencapai tujuan bersama, cita-cita kemerdekaan. Terkait program partai, tidak ada satu pun program politik alternatif yang pro rakyat yang diprogramkan oleh partai-partai berikut calon-calon yang tampil sebagai peserta Pemilu 2014 (kadernya bodoh program, namun pinter janji bual). Kalaupun beberapa calon ada menjanjikan program ini dan itu, program ini tidak lebih dari sekedar jualan karena tidak benar-benar mampu dijelaskan cara mencapainya.
Ditambah pula dengan tidak berkapasitasnya partai-partai dan calon-calon tersebut dalam rekam jejak kepemimpinan untuk menjalankan program apapun yang mereka tawarkan. Tidak ada satu pun metode politik alternatif kerakyatan yang dijalankan oleh para peserta Pemilu 2014 yang menempatkan rakyat sebagai penguasa dari calon-calon wakil dan pemimpinnya ke depan. Ini dibuktikan dengan tidak adanya satu pun calon yang memberikan hak kepada rakyat untuk mengevaluasi sampai mencopot mereka.
Dua hal di atas bersumber dari tidak adanya satu pun partai alternatif kerakyatan yang tampil sebagai peserta Pemilu 2014 karena dihambat oleh sistem dan aturan yang tidak demokratis. Demokrasi di Indonesia menunjukan bahwa pekerja saat ini tertarik dengan isu hak sosial-ekonomi dan welfare-state dibandingkan dengan tuntutan klasik semata seperti upah. Perlu dibangun koalisi dari luar elite politik yang mewakili tuntutan untuk adanya keterwakilan kepentingan mereka yang diharapkan mampu menghasilkan peta yang akan menjadi panduan untuk keluar dari stagnansi menuju transformasi demokrasi.
Ada potensi baru akan kelahiran front (Kesatuan) yang terdiri dari kelompok isu kepentingan dan gerakan yang selama ini telah terpinggirkan dalam proses demokrasi dengan populisme dari berbagai stakeholder dengan bernegosiasi pada kelompok miskin. “Be a strong wall in the hard times and be a smiling sun in the good times. (Jadilah dinding yang kuat ketika masa-masa sulit. Jadilah matahari yang tersenyum, ketika masa-masa indah). Sehingga Pemilu 2014 dapat dikatakan sebagai Pemilunya borjuis karena hanya diikuti oleh partai-partai bandit yang meletakan keberpihakannya bukan pada rakyat, melainkan pada modal (mudah-mudahan saja tidak).
Bukan berarti rakyat sudah tidak membutuhkan demokrasi dan Pemilu sebagai ajang demokrasi, justru karena demokrasi yang ada saat ini diyakini tidak akan menghasilkan perubahan apa-apa, justru hanya akan membersihkan borok-borok partai politik (bukan pesimis yaa). Oleh karenanya, dibutuhkan suatu gerakan alternatif yang mendorong pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya bagi rakyat untuk berpartisipasi dalam politik yang menempatkan rakyat sebagai penguasa dari nasib bangsa dan rakyat ke depan.
Partisipasi ini tidak dapat dibatasi hanya dengan memilih calon-calon yang ada, melainkan membangun satu kesatuan politik alternatif untuk mengusung program-program alternatif kerakyatan bagi perubahan bangsa dan rakyat ke depan, yakni nasionalisasi aset-aset strategis demi pengadaan sumber-sumber keuangan negara dan kesejahteraan rakyat. Saat ini sebagian besar di beberapa sektor aset-aset negara dimiliki oleh swasta dan asing seperti kehutanan, kelautan, perkebunan, tambang mineral dan energi, telekomunikasi, perbankan, transportasi, pendidikan dan kesehatan.
Pembukaan ruang demokrasi seluas-luasnya, yakni pencabutan seluruh UU anti-demokrasi, termasuk merubah sistem kepartaian dan pemilu menjadi partai dan Pemilu yang demokratis, serta pembentukan badan-badan musyawarah rakyat yang berfungsi mengawasi dan mengontrol penjalanan program-program tersebut oleh pemerintahan terpilih. Oleh karena itu, kebutuhan gerakan rakyat adalah membangun kekuatan politik rakyat sebagai alat perjuangan politik bersama.
Sementara itu, tidaklah tepat pembangunan gerakan politik rakyat dengan menyandarkan taktik mendompleng kepada kekuatan partai politik borjuasi ataupun mendukung calon presiden yang populer pada Pemilu borjuasi 2014 (taktik yang keliru sekalipun hanya sebagai proses pembelajaran politik). Ada semangat dan antusias yang cukup tinggi untuk terlibat membangun bangsa.
Kendalanya adalah benturan dan perbedaan-perbedaan ini masih cukup tinggi dan rentan. Di beberapa daerah ada letupan-letupan, walaupun tidak sampai membesar ini harus kita sikapi dengan penuh bijaksana dan introspeksi diri. Ada sebagian berpandangan, kualitas demokrasi yang salah satunya diukur dengan kualitas pemilunya, maka kualitas pemilu akan menghasilkan kualitas kehidupan demokrasi negara yang berkualitas.
Kehidupan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya akan nada harapan untuk lebih berkualitas. Karena itu, dalam titik ini, pemilu dalam konteks pembangunan sistem politik negara yang demokratis memiliki peran dan fungsi yang penting. “Keragaman dapat menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan politik dan dialog dapat meningkatkan harapan bagi kebebasan, kemakmuran, dan hak-hak, singkatnya standard kehidupan demokratis”.
*) Bondan Arion Prakoso adalah Pengamat dan Pemerhati Masalah Bangsa
detik