AJI: Kriminalisasi Narasumber, langkah mundur Demokrasi
Jakarta (RD) - Anggota Divisi Pendidikan Aliansi Jurnalis Independen, Wahyu Dhyatmika, menilai maraknya upaya kriminalisasi terhadap narasumber berita media massa merupakan langkah mundur dalam kehidupan demokrasi. Sebab, Indonesia sudah bisa menikmati kebebasan pers sejak reformasi bergulir. Sayangnya, aksi menjadikan narasumber berita sebagai tersangka pencemaran nama baik justru muncul setelah rezim Orde Baru tumbang.
"Indonesia sedang dan tidak akan kembali ke rezim otoritarian. Namun kriminalisasi terhadap narasumber merupakan kemunduran demokrasi," kata Wahyu di gedung YLBHI, Cikini, Minggu, 26 Juli 2015.
Upaya kriminalisasi terhadap narasumber berita mencuat sejak aktivis dari Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo dan Emerson Yuntho, dipanggil Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Mereka dilaporkan pakar hukum Romli Atmasasmita atas tuduhan pencemaran nama baik. Romli menggunakan kutipan berita yang terbit di media massa yang berisi sikap Adnan dan Emerson soal susunan calon anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK yang bebas figur anti-pemberantasan korupsi. Saat itu Romli santer dikabarkan masuk dalam bursa anggota Pansel. Saat ini Adnan dan Emerson masih berstatus saksi dalam perkara itu.
Tak hanya aktivis dari ICW, komisioner Komisi Yudisial juga telah ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik hakim Sarpin Rizaldi. Mereka mengkritik keputusan hakim Sarpin yang memenangkan gugatan penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan, yang kini menjadi Wakil Kepala Polri.
Fenomena ini, ucap Wahyu, amat berbahaya. Sebab, narasumber bisa gamang dalam membeberkan pernyataan kritis terhadap isu sosial-politik. Akibatnya, publik bisa kehilangan akses pada informasi yang mendalam, karena narasumber sudah melakukan sensor mandiri pada pernyataannya. "Publik tak punya lagi referensi informasi yang kuat," tuturnya.
Mantan anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, menyatakan gelombang kriminalisasi terhadap narasumber tak lepas dari minimnya celah pemidanaan institusi media pascaterbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sebab, segala masalah yang menyangkut sengketa jurnalistik wajib diselesaikan melalui Dewan Pers. "Institusi media sulit dibidik, maka narasumber menjadi sasaran empuk kriminalisasi," kata Agus.